"Saaaaaaaah." Riuh suara saksi pernikahanku. Alhamdulillah, batinku. Dari lantai atas, turunlah seorang bidadari bercadar. Ya, dialah wanitaku. Wanita pilihan orangtuaku. Aku sendiri telah lama mengenal keluarganya, tapi tidak dengan dirinya. Dia lebih senang tinggal di Pondok sembari mengamalkan ilmunya disana.
Jantungku serasa melakukan jogging di pagi hari saat dia mendekat. Tepat dihadapanku, dia pun mencium punggung tangan kananku, lalu ku kecup keningnya.
Setelah itu, diteruskan pada acara wejangan para orangtua dan saudara tertua. Karena aku anak pertama, jadi tak ada wejangan dari saudara tertua. Setiap bulir air mata yang turun dari kelopak mata wanitaku - umi, merupakan kelemahanku. Beda dengan abi yang sejak pagi tadi mengedipkan mata dan selalu berpesan, "jangan capek-capek ya. Kasihan Nayla." Aku hanya tersenyum melihat ulah abi. Mungkin, itu caranya membuatku tak gugup malam ini. Lain halnya dengan mertuaku. Tetesan air mata ibu mertua ditambah pula pesan dari bapak mertua semuanya seperti film-film di televisi. Bukan layar tancap. Elaaaah, efek uttaran tamat kali ya, suara hatiku berbisik. Satu orang yang tak kutemui disana. Yaitu, Nando. Kakak lelaki Nayla yang juga partner kerjaku.
***
Seusai acara resepsi di rumah isteriku, kami pun menuju lantai atas. Inilah saatnya, melihat wajah dibalik cadarnya. "Nay?" ucapku dengan halus. Dia pun mendongakkan matanya yang sedari tadi tertunduk. "Aku suamimu." Dia mengangguk. "Boleh?" Lagi, dia mengangguk. Takut, gugup, dan rasa ingin tahu bercampur menjadi satu. Sesaaat setelah kucondongkan wajahku untuk membuka cadarnya…
LAP... Terjadi pemadaman listrik di rumah Nayla. Eeeeetdah, gagal gua, batinku.
Sebuah telapak tangan mulai meraba wajahku. Bermain dengan brewokku. Meneliti setiap jengkal wajahku. Aduh, sensasi apa ini, ucapku dalam hati. Aku pun terbuai dalam permainan telapak tangan itu. Saat ku tak kuasa menahan semua hasrat yang ada, ku condongkan wajahku untuk sedikit saja merasakan pipinya. Chubby, itu yang aku rasakan pada pipinya. Eh, tapi kenapa kumisnya tebal? Batinku bersuara. Setelah kuraba dalam keadaan mati lampu, "eh, kampret. Ini gua Nando." Kaget. Itu yang aku rasakan.
"Njir, ngapa lu dimari.” Aku pun menjauh dari hadapan Nando dalam kegelapan.
"Eh, gua belom ridho. Gua belom kasih lu wejangan, udah maen sosor adik gua aja lu." Ucapnya dengan nada ketus.
"Lu sendiri kemana? Baru datang," belaku tak mau kalah.
"Eh, lu lupa. Siapa yang kasih tugas gua keluar kota dua minggu kalau bukan atasan gua. Dan atasan gua itu lu, Kampret." Tawaku pun meledak. Aku lupa bahwa Nando adalah kakak dari Nayla. "Nih ya, sebagai hukumannya, malam ini, lu tidur sama gua. Nayla masih grogi. Dia tidur sama ibu. Jadi, lu sabar ya," sambungnya dengan tawa yang tak dapat ditahannya.
"Maafin Nayla ya, Abang." Dia berkata lalu mencium pipiku. Aku pun tak ingin waktu ini terbuang begitu saja, aku memeluknya dengan erat dan lampu pun kembali menyala. Nayla menjauhkan wajahnya dari hadapanku. Aku mampu melihat wajah tomatnya. Aku pun tersenyum.
Saat ku pegang kedua pipinya, sebuah tangan menggapai tanganku. "Udah, selesai pegang-pegangnya! Nay, balik sama ibu. Kakak mau kasih suamimu ini wejangan," ucap Nando. Elaaaaaah, gini banget ya pengantin baru. Tolongin Hayanto, Neng. Batinku berucap. Cerpen Fiksi Komedi.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik untuk keabadian tulisan ini.