Aku menggemari hujan seperti penulis pada tulisan. Seperti Ali pada gambar hewan- hewan serta seperti ipin pada ayam goreng.
https://www.instagram.com/p/Ej3XH/ |
Aku begitu bersemangat hingga tak peduli walau setelahnya aku akan masuk angin atau flu. Seperti tanah yang rela kebasahan dan tak peduli jika setelahnya ia menjadi becek dan jelek.
Seringkali waktu kecil ibuku bilang "Nek udan - udan yo katok an tok". Alasannya sih biar bajunya nggak kotor. Dengan tanpa rasa malu aku melepas baju dan menghambur ke luar rumah.
Aku akan menari, berteriak bahkan tiduran di tanah. Andai aku dulu sudah mengenal cinta, mungkin aku akan bernyanyi lagu india. Tapi dasar Shinta kecil masih terlalu polos. Yang kutau hanya lagu " Udano sing deres, nyambelo sing pedes" dan akan merapalkan mantra itu berkali - kali saat cuaca mulai mendung. Aku tak menginginkan apapun selain hujan. Bahakan aku pernah bercita - cita kelak saat aku dewasa aku akan main hujan sampai tanganku keriput kayak jeruk.
Kesenanganku pada hujan berlanjut sampai aku dewasa. Seringkali pulang atau berangkat sekolah aku akan melepas spatu dan mengalungkannya ke leher bak orang gila. Menikmati air yang jatuh maupun yang menggenang di beberapa lubang jalanan. Hujan selalu memberi banyak kenangan dan makna. Pernah ada yang bilang padaku "Melihat hujan bersama kekasih jauh lebih romantis ketimbang melihat bintang, itu terlalu biasa". Jangan tanya itu siapa, yang pasti bukan mantan.
Hujan juga tidak menghalangiku untuk ke luar rumah. Seringkali aku sengaja tidak membawa jas hujan agar bisa main hujan. Hujan adalah cinta pertamaku. Layaknya cinta pada seseorang, terkadang kita tak boleh terlalu mencintainya karena suatu hari ia bisa sangat menyakitkan.
Begitupun hujan pernah menyakitiku saat perjalanan pulangku dari Unim. Aku sengaja tak memakai jas seperti biasa. Tas dan spatu kusimpan dalam joox. Memacu Jupiter dengan kecepatan 40km/jam. Hujan semakin deras sewaktu aku melewati jembatan Gajahmada. Angin kencang seakan ingin membawa tubuh kurusku ikut bersamanya. Kecepatanku melambat, aku mencoba menghempas jemari angin. Menghiraukan bujuk rayunya hingga sampailah aku diujung jembatan.
Kunaikkan sedikit kecepatan motorku tapi entah kenapa dia memberontak. Si Jupe membuatku berasa naik odong - odong. Jegluk... Jegluk... Jegluk... Dan iapun berhenti. Kulihat spidometer (maaph kalau salah tulisannya) ternyata bensin abis.
"Sialll.... Tapi Untung ada POM bensin di seberang jalan, tapi mana ada duwit gue?" aku memggerutu sambil meraba saku celana.
"Yes... Nemu... Limangewu cukup iki, ngkok njaluk ijol ibuk nang omah".
Dengan rasa gembira dan was - was aku mencoba menyebrang. Kendaraan yang lalu lalang tak mau pelan. Aku kewalahan, petir menyambar, hujan semakin deras jalanan tak berspasi. Dalam hati ingin menangis tapi aku lebih butuh bensin ketimbang airmata sekarang ini.
Akhirnya aku berhasil menyebrang dengan susah payah.
Bensin sudah dibeli dan aku melanjutkan perjalananku. Hujan, petir, angin dan kegelisahan mewarnai sisa perjalananku. Kucoba untuk tetap fokus meski sulit rasanya mata ini untuk terbuka karena tembakan air langit ditambah kilatan cemeti malaikat yang terus menari - nari.
Aku hampir mencapai rumah, namun hujan tak jua berhenti. Untuk pertama kalinya aku berdo'a agar hujan menyingkir. Aku ketakutan memasuki area perkampungan, rumah warga terlihat tak bercahaya. Kukira listriknya padam. Jalanan kian sepi dan gelap hanya bermandikan cahaya petir.
"Oh, Tuhan jangan gosongkan aku di tengah sawah begini... Ini nggak lucu Tuhan". Batinku menangis mencoba bertahan meski tangan mulai kram. Sholawat serta istighfar kuteriakkan saat mak djeterrrrr....!!! Petir itu terasa tepat diatas kepalaku. Masih sempatnya aku membayangkan koran Radar Mojokerto besok terbit dengan kabar *seorang wanita gosong ditemukan meninggal disambat petir di tengah sawah*.
Aku terima kalau aku terlahir dengan kulit gosong, tapi jika mati dengan kulit gosong oh, No itu sama sekali tidak keren. Itu bukan cita - citaku. Dengan susah payah aku sampai di home sweet home. Seperti rombongan kera sakti yang menghadapi 99 rintangan untuk sampai di kuil laiyin, begitu leganya aku melihat pohon beringin itu. Tandanya aku sampai pada baity jannaty.
Benar saja listrik satu kecamatan padam, rumahku juga bergelap ria. Kuparkir kuda poniku di teras, saat hendak melangkah masuk entah mengapa lututku lemas. Aku tersimpuh dan tiba - tiba airmataku mengalir tanpa kuundang. Hatiku tak ingin menangis tapi entah mengapa aku menangis begitu keras sampai secercah cahaya datang.
Silau... Cahaya itu kian mendekat. "Mungkinkah malaikat maut?" batinku ngawur. Cahaya itu berkata, "Koen iku lapo?". Dan kutau suara itu milik kakakku Elma yang tengah membawa senter. Dengan sesenggukan aku menjawab "hu..huhuhuhu... Wedi beldek... Hiks... Hiks...". Siallll... Dia memelukku sekaligus menertawaiku.
Keesokan harinya saat hujan kembali datang. Just give me a reason... 🎼 hpku berbunyi. Oh Nadya sms *cui gak ngampus tah?*
Kuklik balas dan menuliskan *gak cuy aku wis putus ambek udan. Jek ntas jadian ambek bocan (bobok cantik)*. Kutarik selimut dan kupejamkam mata. Seketika aku lupa akan impian polos masa kecilku. Aku tak lagi mencintai huja seperti dulu. Aku hanya sekedar mengaguminya untuk menikmati secangkir kopi dan sebait puisi.
The end Cerpen Fiksi
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik untuk keabadian tulisan ini.