“Kak Abi, tungguin Dewi,” teriakku setengah berlari.
“Lu ngapain sih ngintilin gua mulu!” Ucapnya tepat di hadapanku. “Gak capek apa, Lu!” Bentaknya.
“Maaf, Kak. Dewi ndak tahu area kampus.” Aku pun meremas ujung jilbabku sembari tertunduk. “Bunda sama umi juga nyuruh Dewi ikutin kakak kalau ndak tahu mana-mana,” jelasku.
“Iya, gua paham, Wi. Paham banget. Lu juga masih mahasiswa baru.” Dia pun menghembusan nafas secara kasar. “Tapi kan gak usah ngintil mulu!” Bentaknya (lagi).
“Tapi kak –”
“Gak ada tapi-tapi an! Gua malu, Wi! Malu!” Hardiknya.
“Kakak malu sama siapa?” Ku beranikan diri untuk menatap tepat pada kedua manik matanya. “Kenapa kakak malu?” Tanyaku dengan suara lirih.
“Gua malu gegara lu gak kayak cewek lainnya!” Wajahnya pun memerah seolah menahan amarah.
“Maksud kakak?” Mataku pun langsung tertuju pada manik matanya (lagi) seolah mencari kebenaran.
“Nyadar gak sama penampilan, Lu?” Ucapnya setengah berteriak.
“Kakak malu kalau Dewi pakai jilbab? Kakak malu punya calon istri seperti Dewi?” Air mataku telah menggenang dan tak mampu ku tahan.
“Iya! Puas, Lu!” Hardiknya.
“Astaghfirulloh. Kak Abi,” ucapku dengan menahan sesak di dada.
“Terserah lu mau ngomong apa!” Dia pun pergi meninggalkanku. Sedang aku hanya bisa menatap kepergiannya dengan luka yang menganga di lubuk hati.
***
Enam bulan sudah aku berusaha menghindar dari semuanya dan berusaha melupakan yang telah terjadi diantara kami. Dia adalah orang yang akan menjadi calon imamku. Aku tak tahu apa-apa tentangnya. Aku hanya menuruti keinginan abi dan umi. Abi adalah sahabat dari ayah calon suamiku, Abimanyu Putra Bagaskoro. Aku pun tak tahu mengapa aku meng – iya – kan lamaran tersebut. Aku hanya ingin berbakti pada abi dan umi. Apa aku salah? Lamunanku pun hilang tercerai-berai, sesaat setelah tepukan itu mengagetkanku.
“Nduk, ada Kak Abi.” Aku pun menoleh kearah suara itu lalu menutup novel yang tengah ku baca di meja belajar. “Nduk, sampai kapan gini terus?”
“Sampai Kak Abi mau nerima Dewi apa adanya, Umi. Buat apa menikah kalau Dewi ndak dianggap.” Aku pun membuka luka itu kembali. “Lagian, Kak Abi juga malu punya calon istri berjilbab kayak Dewi,” tuturku.
“Nduk, mungkin aja Kak Abi waktu itu lagi banyak masalah. Kan lagi nyusun skripsi.” Umi pun duduk di tempat tidurku.
“Tapi kan ndak harus begitu caranya, Umi. Dewi juga manusia. Dewi juga punya hati.” Aku pun segera menghampiri umi. Air mataku kini telah lolos membasahi pipi. “Kalau memang ndak mau, kenapa waktu itu ngelamar Dewi?” Tambahku.
“Nduk, sudah ya. Selesai kan semua di ruang tamu. Kasihan Kak Abi nunggu dari tadi.” Umi pun segera bangkit. “Kasihan abimu juga. Dari tadi nemenin Kak Abi.” Umi pun berlalu menuju wilayah kekuasaannya mencoba berbagai resep masakan. Aku pun bergegas untuk menyelesaikan masalah ini. Aku lelah, Ya Rabb. Batinku menyeruak.
***
“Sini, Nduk.” panggil abi. Aku pun duduk di sebelah abi. “Ada calon suami datang kok cemberut?”
“Lagi ada masalah mungkin, Bi.” Jelas Kak Abi.
“Ya sudah, selesaikan dulu.” Abi lalu meninggalkan kami berdua.
“Dewi, Kak Abi minta maaf.” Dia pun bersuara diseberang tempat duduk-ku.
“Iya, Kak. Sudah Dewi maafkan. Kalau ndak ada yang mau di bahas lagi. Kakak boleh pulang sekarang,” tegasku. “Pintu keluar ada di sana.” Aku menunjuk pintu keluar lalu bergegas menuju kamar.
“Lho, umi buatin minum. Dewi mau kemana, Sayang?” Tanya umi dengan membawa nampan yang berisi setoples camilan dan dua cangkir teh hangat.
“Dewi mau ke ka –”
“Dewi mau ke kamar. Mau saya ajak keluar, Umi. Lihat rumah yang akan kami tinggali nanti setelah menikah. Boleh ya, Umi?” Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Kak Abi keburu menyambar perkataan Umi, menghilangkan kesempatanku untuk segera menghilang darinya.
“Gimana, Bi?” Tanya umi pada abi yang kebetulan lewat disamping umi.
“Ada bunda sama ayah disana.” Tambah Kak Abi.
“Terserah Dewi saja. Tapi ingat, pukul setengah sembilan sudah harus sampai di rumah.” Pesan abi.
“Siap, Abi,” jawab Kak Abi.
***
Sampailah kami di sebuah perumahan elite di depan rumah yang sederhana, cocok untuk keluarga kecil kami. Itu pun kalau Allah mengijinkan kami bersatu. Tapi, ucapannya waktu itu masih membekas bak lubang di hati.
“Dewi?”
“Iya, Kak?”
“Ayo turun.”
“Iya, Kak.” Kami pun berjalan beriringan sampai di depan sebuah kamar.
“Nah, ini ruang tidur kita.” ucapnya yang kubalas dengan senyuman. “Kamu kenapa, Dewi? Kamu masih marah sama kakak?”
“Ndak kok, Kak.” Aku pun langsung meninggalkannya menuju ruang tamu. Dia pun mengikutiku.
“Dewi mau tanya apa sama kakak? Dewi mau ngomong apa?” Tanyanya saat aku memilih duduk di sofa cream yang tersedia. Dan dia pun mengikutiku dengan duduk di hadapanku.
“Ndak ada, Kak,” jawabku dengan menundukkan pandangan.
“Dewi, maafin kakak.” Pintanya. “Ucapan kakak waktu itu –”
“Stop, Kak. Kalau kakak masih membahasnya, Dewi pulang saja.” Aku pun bangkit dari sofa tersebut.
“Tapi Dewi, kakak ndak mau ada kesalah pahaman diantara kita sampai –”
“Sampai apa, Kak?” Langsung saja ku potong penjelasannya.
“Sampai kita menikah,” tegasnya.
“Kakak masih menginginkan pernikahan dengan gadis berjilbab? Kakak ndak malu? Kakak ndak risih?” Tanyaku seperti rentetan kereta api.
“Ndak, Sayang. Kakak sadar. Beberapa bulan kamu menjauh, semua terasa berbeda.” Ucapnya yang akan menyentuh ujung jilbabku namun ku tepis.
“Selemah itukah alibi kakak untuk bisa kembali padaku?” Aku pun menghembuskan nafas dengan kasar. “Maaf, Kak! Dewi ndak semudah itu percaya dengan alibi kakak!” Ucapku dengan penuh penekanan.
“Dewi, dengarkan kakak dulu. Itu bukan alibi. Ini murni dari hati kakak.” Dia pun berusaha meyakinkanku dengan menatap kedua manik mataku.
“Maaf, Kak. Kalau kakak minta maaf atas ucapan kakak waktu itu, Dewi sudah memaafkannya. Tapi tidak dengan hati Dewi yang telah kakak lukai. Bahkan secara langsung.” Aku pun menghembuskan nafasku dengan kasar (lagi). “Permisi.” Aku pun meninggalkannya di rumah itu dan langsung berlari. Darah segar pun mengalir dari indera penciumanku. Aku tak kuat lagi. Allahu Akbar, gumamku. Ya Allah, aku pasrahkan semua takdirku pada Mu, batinku. Aku pun berlari sekuat tenaga demi menjauh darinya. Pengelihatanku sedikit kabur dan aku pun hanya melihat semua menjadi gelap. Samar aku mendengar isak tangis dan merasakan sentuhan lembutnya diujung jilbabku sebelum aku hilang kesadaran. Ya Allah, aku pasrahakan semua pada Mu, batinku.
"Maafkan aku, Dewi,” teriaknya dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Cut! Cukup!” Suara itu mengagetkanku. Ku buka sebelah mataku lalu tersenyum pada Kak Abi.
“Selamat hari lahir, Kak Abi.” Kak Abi pun melongo memperhatikanku.
“Jadi?” Dia pun semakin bingung.
“Ya, ini adalah skenario ayah, bunda, umi, abi, sama Dewi. Hehehe.” Dia pun menggelengkan kepalanya lalu melihat kedatangan orang tua kami dengan senyum yang mengembang.
“Lalu, darah ini?” Dia pun menyentuh darah segar yang keluar dari indera penciumanku.
“Neng, saosnya sudah?” Suara itu menjawab pertanyaan akan darah di indera penciumanku. Aku pun nyengir merasa tak berdosa sedangkan penjual bakso langgananku pun langsung kembali melayani pembelinya disertai senyuman tak berdosa, sesaat setelah melihat tampang garang Kak Abi.
“Besok kita ke KUA!” Ucapnya tegas yang langsung membuatku melongo. Eh, tapi alhamdulillah. Hehehe, batinku.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik untuk keabadian tulisan ini.